Dilaporkan Relawan Jokowi Bersatu, Ini Penjelasan Najwa Shihab Soal Bangku Kosong

Dilaporkan Relawan Jokowi Bersatu, Ini Penjelasan Najwa Shihab Soal Bangku Kosong

Wed, 07 Oct 2020Posted by Admin

Najwa Shihab dilaporkan Relawan Jokowi Bersatu ke Polda Metro Jaya setelah mewawancarai 'bangku kosong' yang seolah-olah Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Silvia Devi Soembarto selaku Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu menyatakan bahwa yang dilakukan oleh Najwa Shihab merupakan tindakan cyber bullying. Pihaknya tergerak untuk melaporkan Najwa, karena Menteri Terawan adalah representasi Presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Kemanakah Menkes Terawan?

Namun laporan Silvia ditolak polisi lantaran Najwa Shihab adalah seorang jurnalis, yang dilindungi oleh UU Pers, sehingga polisi mengarahkan Silvia untuk melapor ke Dewan Pers.

"(Tindakan yang dipersangkakan) cyber bullying karena narasumber tidak hadir kemudian diwawancarai dan dijadikan parodi. Parodi itu suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan kepada pejabat negara, khususnya Menteri. Menteri Terawan adalah pejabat negara. Hal yang membuat saya sebagai Ketum Relawan Jokowi Bersatu marah adalah menteri ini adalah representasi Jokowi, dan Presiden Jokowi adalah kami relawannya. Jadi apa pun yang terjadi dengan Presiden dan pembantunya, ya kami harus bersuara," ujar Silvia kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Terkait upaya pelaporan Relawan Jokowi Bersatu, Najwa Shihab pun angkat bicara. Najwa menegaskan bahwa dirinya siap memberikan keterangan terkait tayangan wawancara tersebut. Pada unggahan foto Najwa Shihab di Instagram hari Selasa (6/10/2020), ia membagikan responnya terkait pelaporan ini. Berikut penjelasan yang Najwa tulis pada caption fotonya:

Saya baru mengetahui soal pelaporan ini dari teman-teman media. Saya belum tahu persis apa dasar pelaporan termasuk pasal yang dituduhkan. Saya dengar pihak Polda Metro Jaya menolak laporan tersebut dan meminta pelapor membawa persoalan ini ke Dewan Pers. Jika memang ada keperluan pemeriksaan, tentu saya siap memberikan keterangan di institusi resmi yang mempunyai kewenangan untuk itu.

Tayangan kursi kosong diniatkan mengundang pejabat publik menjelaskan kebijakan-kebijakannya terkait penanganan pandemi. Penjelasan itu tidak harus di Mata Najwa, bisa di mana pun. Namun, kemunculan Menteri Kesehatan memang minim dari pers sejak pandemi kian meningkat, bukan hanya di Mata Najwa saja. Dan dari waktu ke waktu, makin banyak pihak yang bertanya ihwal kehadiran dan proporsi Manteri Kesehatan dalam soal penanganan pandemi.

Faktor-faktor itulah yang mendorong saya membuat tayangan yang muncul di kanal Youtube dan media sosial Narasi. Media massa perlu menyediakan ruang untuk mendiskusikan dan mengawasi kebijakan-kebijakan publik. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan juga berasal dari publik, baik para ahli/lembaga yang sejak awal concern dengan penanganan pandemi maupun warga biasa. Itu semua adalah usaha memerankan fungsi media sesuai UU Pers yaitu “mengembangkan pendapat umum” dan “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”.

Sependek ingatan saya, treatment “kursi kosong” ini belum pernah dilakukan di Indonesia, tapi lazim di negara yang punya sejarah kemerdekaan pers cukup panjang. Di Amerika sudah dilakukan bahkan sejak tahun 2012, di antaranya oleh Piers Morgan di CNN dan Lawrence O’Donnell di MSNBC’s dalam program Last Word. Pada 2019 lalu di Inggris, Andrew Neil, wartawan BBC, juga menghadirkan kursi kosong yang sedianya diisi Boris Johnson, calon Perdana Menteri Inggris, yang kerap menolak undangan BBC. Hal serupa juga dilakukan Kay Burley di Sky News ketika Ketua Partai Konservatif James Cleverly tidak hadir dalam acara yang dipandunya.

#CatatanNajwa