Perjuangan Masyarakat Ciburayut

Perjuangan Masyarakat Ciburayut

Mon, 22 Apr 2019Posted by Admin

Kesejahteraan yang tidak merata kembali diinvestigasi oleh Tim Indonesiaku dalam episode 22 April 2019. Daerah yang menjadi tujuan Tim Indonesiaku kali ini adalah Desa Ciburayut, Kec. Cigombong, Bogor. Berlokasi di dekat kota besar ternyata tidak membuat Desa Ciburayut memiliki akses yang mudah dalam menjalani kehidupannya. Pendidikan yang rendah dan tingginya pengangguran adalah permasalahan utama desa yang berlokasi diantara Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango ini. Tim Indonesiaku berkesempatan untuk mengivestigasi secara tuntas seluruh keresahan yang dirasakan oleh warga Desa Ciburayut dan berikut adalah kehidupan masyarakat Desa Ciburayut, Bogor.

 

Baca juga: Kisah Hidup di Perbatasan, Wa Yagung, Desa Terisolir Di Kalimantan Utara

Mata pencaharian utama laki-laki di desa ini adalah menambang batu, pasir dan tanah. Untuk penambangan batu, lahan tambang telah dibuka sejak tahun 1933. Biasanya, untuk satu titik tambang dikerjakan oleh 5 sampai 10 penambang yang masih terikat hubungan keluarga. Untuk satu truk yang terisi penuh batu dihargai Rp 150.000-Rp 200.000 dan rata-rata penghasilan per orangnya adalah Rp 30.000-Rp 60.000 per hari.

Walaupun pekerjaan ini lebih menjanjikan dari sawah atau kebun, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Tingginya resiko karena keadaan tambang yang seadanya dan minimnya penggunaan alat keselamatan membuat pekerjaan ini tergolong berbahaya. Bagaimana tidak, penambang dituntut untuk menaiki bukit batu cadas dengan ketinggian 15 sampai 20 m tanpa pengaman untuk menurunkan batu. Kegiatan inilah yang sering memakan korban. Bahkan, Desa Ciburayut dikenal sebagai Kampung Janda karena banyaknya istri yang hidup tanpa suami karena menjadi korban. Sebetulnya, tambang ini pernah ditutup sementara karena tingginya angka kecelakaan. Namun kemudian dibuka kembali karena masyarakat memerlukan pekerjaan.

Tim Indonesiaku kemudian menemukan bahwa tidak hanya laki-laki yang bekerja di desa ini, perempuan pun terpaksa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Biasanya, para perempuan turut membantu suaminya dalam menambang pasir dan tanah. Dalam waktu satu pekan, biasanya terkumpul dua truk pasir dan bahkan lebih jika banjir datang. Upah yang didapatkan pun kembali lebih menggiurkan dari sawah atau kebun. Namun, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang diperbolehkan. Berulang kali penambang pasir diperingatkan untuk berhenti oleh pihak berwajib, namun mereka tetap melakukan pekerjaan ini karena memang hanya ini yang dapat mereka lakukan.

Selain menambang pasir, umumnya para perempuan di desa mencari uang dengan membuat besek dari bambu. Upah yang mereka terima untuk setiap 100 buah besek adalah Rp 12.000 dan dalam waktu satu hari umumnya per orang dapat menghasilkan 200 buah besek. Bambu yang menjadi bahan dasar produksi besek dicari oleh kaum laki-laki. Jenis bambu yang digunakan adalah bambu hitam tua yang tinggi dan ketebalannya sesuai. Biasanya dalam satu hari para bapak dapat menebang hingga 20 batang bambu untuk kemudian dibuat menjadi besek.

Resiko pekerjaan ini memang lebih kecil, namun tidak minim masalah. Ketersediaan bambu yang digunakan sebagai bahan dasar terus berkurang dan bahkan Tim Indonesiaku menemukan jika bambu ini akan habis dalam waktu kurang lebih dua tahun. Dan dengan demikian, sekitar dua tahun lagi, satu mata pencaharian masyakarat Desa Ciburayut akan hilang jika tidak ada perubahan.

Berdasarkan hasil wawancara Tim Indonesiaku dengan masyarakat desa, ditemukan bahwa hal yang paling dirasa sulit dan menjadi permasalahan terbesar memang adalah lapangan pekerjaan. Ditambah dengan minimnya tingkat pendidikan masyarakat. Umumnya, masyarakat Desa Ciburayut hanya merupakan lulusan SD. Dan mereka yang berhasil menempuh jenjang SMP dan SMA memutuskan untuk bekerja di luar desa dan merantau ke Bogor atau Jakarta.

Baca juga: Suku Da'a Mengejar Ketertinggalan, Bara Barraya, Tepian Indonesia Yang Merana

Jika dilihat, tanah di wilayah desa ini tergolong subur. Namun, karena permasalahan ekonomi masyarakat dituntut untuk menjual tanahnya kepada orang di luar desa mereka. Tercatat sejak tahun 2000, 50% tanah perkebunan dan sawah di Desa Ciburayut telah dijual dan dibeli oleh masyarakat dari luar desa. Hingga akhirnya, tidak sedikit masyarakat Desa Ciburayut yang menjadi buruh di tanah mereka sendiri.

Dengan pekerjaan yang dijalani oleh masyarakat desa, umumnya penghasilan mereka sebulan perorang hanya Rp 700.000 hingga Rp 1.000.000. Karena umumnya masyarakat desa menikah di usia muda, sekitar 15-25 tahun, anak mereka pun banyak. Rata-rata satu keluarga memiliki 5 bahkan ada yang 12 orang anak. Kepada Tim Indonesiaku, masyarakat bercerita bahwa anak-anak mereka walaupun sudah besar masih belum dapat hidup mandiri karena tidak memiliki pekerjaan atau hanya bekerja serabutan. Sehingga sebagai orang tua, mereka masih menghidupi anak-anak mereka dalam beberapa keperluannya.

Kepada Tim Indonesiaku mereka pun menitipkan harapan-harapannya. Dimana mereka memerlukan adanya bantuan dari pemerintah seperti modal agar mereka dapat membuka pekerjaan baru dalam bentuk kerajinan tangan. Khususnya bagi para ibu-ibu dan janda yang telah ditinggal oleh suaminya. Modal menjadi kunci penting karena jika modal tersebut datang dari tengkulak, mereka tidak akan mendapatkan untung yang lebih.

Selain itu mereka pula mengharapkan bantuan untuk meningkatkan ekonomi desa melalui Pemberdayaan Desa seperti yang telah berjalan di Desa Sukamantri dengan adanya produksi Lemon Amerika. Buah ini merupakan varietas unggulan yang belum banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah ini pun berbuah tanpa mengenal musim, sehingga produksinya dapat lebih cepat.

Dulunya, masyarakat di desa ini memiliki permasalahan yang sama dengan masyarakat Desa Ciburayut. Namun kemudian melalui program Pemberdayaan Desa yang dipelopori oleh Bapak Sulaeman, Ketua Bumdes Mekarjaya, masyarakat disarankan dan dimodali untuk menanam pohon ini.

Penghasilan yang didapatkan pun cukup besar. Bagaimana tidak, dalam satu pekan, satu pohon lemon dapat menghasilkan 25 Kg buah. Desa ini memiliki 1 hektar lahan pohon Lemon Amerika yang di dalamnya tertanam sekitar 700 pohon. Hasil dari perkebunan ini kemudian dijual ke pengurus Bumdes. Harapannya kedepan dari masyarakat Desa Sukamanti adalah agar lahan ini tidak hanya dapat dijadikan sebagai lahan produksi, namun juga wisata edukasi.

Indonesiaku tayang setiap hari Senin pukul 14.30 WIB.